RENUNGAN BAGI GURU

Sejak pagi hari ini bertubi-tubi ucapan "Selamat Hari Guru" berdatangan baik secara langsung dalam peluk dan sapa dari yang dewasa sampai yang anak-anak hingga ucapan dalam kotak pesan pada media sosialku. Istimewanya tahun ini, disematkan lagi sekuntum bunga emas di dada kami yang menambah rasa haru yang semakin mendesakku untuk menulis. Terima kasih atas perhatian kepada kami sebagai guru. 

Dulu aku pernah mendengar seorang guru berkata bahwa bahkan bila tak dibayarpun ia akan tetap menjadi guru. Di kesempatan lain juga aku melihat perjuangan guru yang walau tak dilihat dan dipuji ia tetap saja melakukan hal terbaik menebarkan wangi semerbaknya secara diam-diam tanpa pamrih. Ada lagi seorang guru kami yang sangat sabar bahkan tak pernah marah sekalipun dan ketika setelah berpisah berpuluh-puluh tahun, saat mendengar kabar meninggalnya beliau, Kami dan beberapa teman kami bahkan mengalami perasaan berduka sampai seminggu lebih. Maka di hari yang istimewa bagi guru ini tak heran saya langsung teringat pada guru-guru tersebut.

Bila disebut guru, awalnya saya juga tidak tahu akan menjadi seorang guru. Walau sejak kecil aku selalu menjadi kepala bocah yang mengumpulkan banyak teman sepermainanku untuk bermain guru-guruan. Tentunya aku yang menjadi guru pada saat itu😁. Sampai-sampai aku mengutip uang sekolah dari mereka yang saat itu nilainya hanya Rp.50,- uang logam untuk dibelikan buku tulis kotak-kotak bagi mereka. Masih segar dalam ingatanku bagaimana di rumah temanku, semua teman-teman kecilku duduk rapi di bangku yang sudah dijejerkan meja dan kursinya. Lalu saya mengajarkan mereka menulis ABC pada saat itu (sebaya lohπŸ˜„ pada saat itu aku masih kira-kira kelas 1 SD) wakakaka.!!! Setelah lebih besar ketika kami sudah dibelikan 1 papan tulis hitam besar di rumah, aku bawa adik-adikku setiap malam giliran membawa ceramah seperti yang kami dengarkan di vihara. Bahkan papaku menjadi salah satu pendengarnya. Haha! Setelah SMA kami juga membentuk kelompok belajar dengan nama NATURE yang berkumpul setiap hari Minggu di rumahku (sambil senyum-senyum saat mengingat dan menuliskannya di sini). Bahkan saat kuliah, saya juga rajin mengumpulkan adik-adik sepupuku di rumah untuk belajar sambil bermain beberapa permainan lalu membagikan hadiah-hadiah kecil kepada mereka. Masih kental dalam ingatanku bagaimana pada saat Ultah Pernikahan Perak orang tuaku, aku mengajarkan seluruh adik sepupuku terlibat dalam pembuatan drama nostalgia yang memerankan bagaimana ada nenek buyut, nenek, kakek, hingga papa mama kami dalam cerita perkenalan hingga pernikahan mereka yang disari dari cerita nenek πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„ Hebatnya para pemeran yang semuanya adalah adik-adik sepupuku yang masih kecil dapat berperan sangat profesional dengan kostum batik dan sarung yang aku sediakan pada saat itu. Penampilan mereka mengundang dera tawa seluruh keluarga yang membawa kebahagiaan. Lama setelah itu setelah punya anak saya menjadi guru bagi anak-anakku, hampir semua alat permainan edukatif saya sediakan untuk menstimulasi mereka hingga pendampingan full sebagai seorang mama yang melihat perkembangan mereka dari lahir hingga masa periode emas berlalu. Tak lama setelah itu tiba-tiba atas pengaturan Tuhan, saya ditawari jadi guru pada satu sekolah yang baru dirintis. Maka melekatlah predikat guru saat ini. Jadi kalau dipikir-pikir sebenarnya panggilan saya menjadi guru adalah karena melalui peran guru saya ingin membawakan kebahagiaan dan membangun minat belajar yang menyenangkan pada semua orang yang berjodoh dengan saya. Namun seiring waktu di lapangan, saya menemukan peran dan tanggung jawab guru yang lebih penting lagi di masa sekarang yaitu dalam hal memberikan pendampingan dan membantu anak murid yang melalui perkembangan dan permasalahan dalam jiwa mereka yang di masa ini kurang mendapat perhatian dari keluarga.

Banyak hal-hal penting dalam hidup yang tidak diajarkan di dalam kelas di sebuah sekolah. Apalagi di era digital saat ini, sekolah dan guru profesional tak lagi memadai sebagai upaya mendidik semua warga muda kita dengan beragam gaya belajar, minat, bakat dan karakternya yang terbentuk. Kita butuh banyak peran guru di sekeliling kita. Merekalah guru umum di dunia. Seseorang boleh disebut guru pada saat dia mendidik sekaligus dengan memberi teladan. Seseorang disebut murid pada dia belajar sesuatu dan berusaha melakukan teladan sang guru. Ibu adalah guru pertama dan utama dalam keluarga di rumah. Ayah adalah guru dalam mengenalkan anak-anaknya pada dunia nyata di rumah dan di luar. Petugas kebersihan dan tukang sampah adalah guru yang mengajarkan kebersihan yang menyediakan lingkungan yang bersih dan tertata rapi. Supir angkot yang tertib aturan adalah guru yang mengajarkan tertib berlalu lintas. Keramahan warga kota saat menyapa adalah guru etika di masyarakat. Dan masih banyak lagi guru tanpa seragam guru yang walaupun tidak saya sebutkan disini namun dapat anda bayangkan siapa dirinya dalam kehidupan anda. Di kesempatan ini, siapapun anda baik guru umum maupun guru formal profesional adalah sosok guru yang penting bagi dunia ini. Sebuah negara hanya akan maju bila memiliki banyak guru berkualitas yang mampu menginspirasi. Sebab generasi bermutu dengan karya hebat yang positif bagi dunia merupakan kader hasil didikan yang dihasilkan melalui tangan guru -guru yang bermutu.

Lalu apakah menjadi guru itu begitu mudah dan menyenangkan? Tentu saja tidak. Walaupun semua orang bisa saja menjadi guru bagi orang sekitarnya. Namun, guru dalam lingkup dunia pendidikan formal adalah sebuah profesi yang menuntut terpenuhinya kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial dan profesional. Untuk itu seorang guru harus menjadikan "senantiasa bertumbuh" dan "menginspirasi secara positif" sebagai satu-satunya tujuan dalam hidupnya. Ketika sistem sekolah dan sisdiknas terasa membatasi ruang gerak seorang guru dalam mendidik sesuai idealismenya, ketika harus menerima adanya perbedaan kepentingan dalam dunia pendidikan yang digeluti, ketika peran orang tua yang tidak mau bekerja sama dalam mendidik anak-anaknya, bahkan ketika ketika malam menjelang dini hari kita masih sibuk mengoreksi hingga mempersiapkan bahan dan materi untuk keesokan harinya. Ada kalanya kita memang lelah dan sesak namun bukan berarti semangat para guru yang umpama lilin lilin kecil ini harus padam diterpa angin. Sumbu kita yang tebal akan mampu terus mempertahankan sinar api tetap menyala. Sumbu itu adalah mimpiku, mungkin juga mimpi semua guru seperti diriku. Aku bermimpi akan selalu bisa menginspirasi di manapun aku berada. Aku bermimpi dua puluh tahun yang akan datang, zaman di mana mungkin aku telah tiada atau sudah mulai menua, pengaruh inspirasi positif yang pernah kita berikan bekerja dan berpengaruh bagi dunia melalui diri murid-murid kita, baik diingat maupun tidak tak menjadi masalah. Yang penting adalah anak didikku tumbuh menjadi generasi emas bermental sehat berkarakter kuat dalam etika dan moral sehingga menjadi generasi penyelamat bumi masa yang akan datang. Kami memang guru-guru kecil dengan mimpi yang tidak kecil. Maka bagiku menjadi guru adalah panggilan hidup dalam membangun jiwa manusia termasuk jiwa diri sendiri dan semua yang berjodoh dengan diriku, anak-anakku, keluargaku, guru-guruku, murid-muridku, teman-temanku, saudara-saudariku, siapa sajapun itu. Tapi tentunya dalam perjalanan ini sebagai manusia yang dapat kuberikan masih jauh dari sempurnaNya. Untuk itu mari bersama-sama kita merenung sejenak ...

Sebenarnya apakah kita sudah menjadi guru yang baik ketika dalam kebanggaan dan haru kita menerima ucapan selamat hari guru? Apakah semua itu terukur dari suasana kelas kita yang begitu tertib dan aman saat belajar? Atau pada sorotan mata guru yang mampu memadamkan keriuhan anak satu kelas ketika ia masuk? Sesungguhnya luar biasanya seorang guru bukan pada keangkuhannya menaklukkan anak didik dengan kuasanya sebagai guru, tetapi adalah ketika ia dapat menjadi orang yang sangat biasa hingga ia mampu merengkuh jiwa dengan sang anak dalam kesahajaannya yang murni yakni ketika ia mampu menyesuaikan diri dengan berdiri sama tinggi dengan anak muridnya sehingga ia dapat diterima dengan nyaman sebagai pendamping belajar bagi para anak didiknya. Dalam kesahajaan sikapnya terpancar wibawa dan tantangan mencetuskan ide-ide pemikiran dan pembelajaran yang kritis, kreatif, komunikatif, berkolaborasi dan berkarakter yang mampu membawa anak muridnya menikmati ladang pendidikan dengan dasar saling mempercayai dan kenyamanan. Inspirasi seperti ini yang mampu menanamkan image pendidikan yang bermasa depan cerah dan nilai  karakter senang belajar seumur hidup pada anak didik kita. Tentunya hal ini tidak segampang yang diucapkan. Ia membutuhkan waktu, strategi dan ilmu dalam memahami jiwa setiap anak dan mental berani beda untuk mau masuk melalui pintu anak-anak dan keluar bersama melalui pintu sang guru. Maka jangan sekalipun menjadi guru yang merasa terkungkung oleh jadwal , status, dan kurikulum yang direncanakan. Semua hanya alasan untuk menjadi guru yang tak perlu memikirkan hal lain di luar itu, padahal sesungguhnya seorang guru harus benar-benar memahami bahwa konsep kurikulum itu sendiri sifatnya adalah dinamis mengikuti karakteristik anak (child centered) dalam mencapai tujuan pembelajaran pada khususnya dan tujuan mempersiapkan kehidupan anak sebagai manusia dewasa pada umumnya. Makanya sekolah yang baik tidak akan menerapkan model pembelajaran dengan kurikulum yang sama persis dengan sekolah yang lain, demikian juga di dalam kelas tidak ada perlakuan kurikulum yang sama untuk setiap anak, tetapi guru harus menyesuaikan pada kemampuan dan keunikan setiap anak.

Jangan galaukan diri untuk memenuhi nilai ketuntasan yang ditetapkan dengan standar yang belum tentu standar ukur ideal atau berfokus pada pencapaian tujuan pendidikan yang diukur melalui PISA dan TIMS. Seharusnya kita lebih khawatir pada semakin bermasalahnya mental anak masa kini , keruntuhan nilai-nilai moral dan karakter, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keluarga, ancaman perang nuklir, perubahan iklim dan pemanasan global yang sering kali luput dari perhatian kita. Di hari guru ini, sebagai guru, kita perlu mencermati kembali nasehat Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan bukan soal capaian nilai akademis matematika dan sains. Sistem pendidikan adalah soal membangun jiwa yang merdeka. Sistem pendidikan nasional dengan guru sebagai komponen penting harus digerakkan untuk menyediakan prasyarat budaya peradaban baru. Maka menjadi seorang guru harus tak henti-hentinya terus belajar dan bertumbuh serta menyesuaikan diri dengan anak masa kini hingga ia mampu berjalan di depan, di samping bersama dengan murid-muridnya bahkan di belakang sesuai kondisinya. Tentu saja sebagai guru kita harus memperhatikan kondisi mental dan karakter kita sendiri dengan seksama. Persiapkan kondisi mental yang sehat dan karakter yang berakar dari nurani sebagai modal awal menjadi guru yang benar-benar guru. Selanjutnya dengan segala kompetensi yang kita miliki, kita juga tidak mampu berjalan sendiri, tetapi dengan dukungan sinergi sistem pendidikan dari lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat, mudah-mudahan bersama kita mampu membangun mental dan karakter sehat generasi emas Indonesia. Happy Teacher's Day. Love you all my teachers. Mari mendidik dengan kasih!

Komentar