BERDAMAI DENGAN TRAUMA


Banyak persepsi tentang trauma, bahkan pengertian trauma itu sendiri berbeda-beda menurut para ahli. Ada yang menyatakan bahwa trauma adalah luka batin, ada yang menyatakan bahwa trauma adalah paparan terhadap pemicu stres yang menimbulkan rasa takut, ketidakberdayaan, dan kengerian yang hebat. Dalam buku Sue Johnson, dia mengatakan, trauma (penyebab stres ini) membentuk cara penyintas mendefinisikan dunia dan dirinya sendiri secara tidak dapat diubah.

American Psychiatric Association (APA) (2000) dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM.IV-TR), menyatakan puncak trauma merujuk pada salah satu atau dua dari hal berikut, yaitu: (1) seseorang yang mengalami, menyaksikan atau berhadapan dengan kejadian ngeri yang menyebabkan kematian, kecederaan serius atau mengancam fisik diri atau orang lain, (2) respon individu terhadap ketakutan, rasa tiada harapan, horor (masa kanak-kanak yang sulit).

Menurut sebuah artikel, 69% orang diketahui telah mengalami pemicu stres traumatis dalam hidup mereka. Trauma yang paling umum dialami pria adalah melalui pertempuran atau menyaksikan kematian atau cedera. Trauma yang paling umum dialami wanita adalah kekerasan seksual. Walaupun pada kejadian setiap trauma pasti melibatkan emosi intens. Namun, tidak setiap kejadian dengan emosi intens mengakibatkan trauma. Kejadian sama yang dialami dua individu, bisa mengakibatkan hasil yang berbeda. Yang satu mengalami trauma, sementara yang satu lagi sama sekali tidak terpengaruh. Lalu, apa faktor yang menentukan satu kejadian akan bersifat traumatis atau tidak? Pertanyaan ini sangat menggelitik rasa ingin tahu dan membuat rasa penasaran bukan?

Emosi dan Trauma

Jadi menurut Gunawan, 2014, Trauma selalu melibatkan emosi intens. Kita mengingat traumatisasi sebagai kondisi terperangkap dalam tindakan pelarian tak tuntas. Suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatis membutuhkan lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa kaget atau terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian itu. Kelima, individu merasa tidak berdaya. 

Yang dimaksud dengan kejadian adalah salah satu atau gabungan dari beberapa kemungkinan berikut: kita bisa mengalami sendiri, hanya menyaksikan, diberitahu baik oleh pihak kedua atau ketiga, membaca uraian kejadian, menonton siaran televisi, mengalami kejadian melalui mimpi, dan membayangkan kejadiannya di pikiran.

Contohnya, pada kecelakaan mobil. Kita bisa berada di dalam mobil, baik sebagai pengemudi atau penumpang, kita bisa menyaksikan terjadinya kecelakaan dan mendengar suara erangan atau rintihan kesakitan dari korban, melihat darah mengalir dari tubuh korban, atau kita bisa mendengar cerita orang mengenai kejadian itu, membaca kisah kecelakaan, menyaksikan tayangan video atau film kecelakaan, bermimpi mengalami kecelakaan, atau membayangkan mengalami kecelakaan, dan kita mengalami trauma.

Ada juga klien yang takut naik pesawat karena ada rekan atau keluarga mereka yang mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal. Ada klien yang karena sering membaca ulasan tentang kecelakaan pesawat ini, baik di media massa, tayangan televisi, dan melalui media sosial lainnya, turut menjadi trauma.

Trauma yang berasal dari cerita pihak kedua dan ketiga bisa terjadi karena pikiran kita mendramatisir kejadiannya. Ini jenis trauma yang dijumpai pada para pekerja sosial, terapis, pengacara, polisi, dan mereka yang rutin menangani trauma.

Pengalaman orang pertama tentu menghasilkan pengaruh emosi yang jauh lebih kuat daripada cerita orang ketiga, namun ini tetap perlu diwaspasi karena hasil penelitian menemukan para pekerja di bidang pemulihan trauma rentan terpengaruh dan perlu bersikap waspada terhadap risiko ini (Adams dan Riggi, 2008).

Komponen kedua untuk terjadi trauma adalah kejadian itu bermakna bagi individu. Makna muncul sebagai hasil dari kebutuhan bawaan akan kelekatan (attachment) pada hal-hal penting dalam hidup, dan pengalaman sebelumnya. Kelekatan yang dimaksud bisa berupa kelekatan pada hidup, pasangan, keluarga, orangtua, bagian tubuh, benda mati seperti rumah, mobil, cicin kawin, atau apa saja yang memiliki keterhubungan emosional intens dengan individu.

Makna juga bisa muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya. Satu kejadian yang sebenarnya bersifat netral bisa memicu memori traumatis masa lalu dan mengakibatkan respon negatif. Terapis tidak dalam posisi untuk menentukan apakah suatu kejadian bermakna atau tidak bagi klien. Klien yang menentukan.

Dengan demikian, dalam upaya menemukan kejadian traumatis, perlu diperhatikan hal-hal yang tampak sepele karena bisa saja hal ini justru merupakan penyebab trauma.

Komponen ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian. Ada lima senyawa kimiawi otak yang berperan dalam proses trauma, yaitu glutamate, dopamine, serotonin, norepinephrine, dan kortisol. Dalam kondisi normal, kelima senyawa kimiawi ini berperan sebagai neuromodulator, memengaruhi suasana hati, pemrosesan informasi, dan meningkatkan kerentanan kita terhadap trauma.

Saat stres akut, level dari senyawa kimiawi ini meningkat drastis dan mengakibatkan informasi diproses secara berbeda. Tubuh kita disiapkan untuk bertindak, perhatian kita menjadi fokus, kita siap bertindak, dan menyiapkan otak untuk menyimpan informasi yang akan segera masuk.\

Dopamine meningkat saat kita mencari keberadaan predator. Saat kita harus melawan atau lari, epinephrine menyiapkan tubuh dan norepinephrine menyiapkan pikiran. Serotonin juga meningkat sedikit untuk mencegah tubuh mengalami beban berlebih. Glutamate terlibat dalam semua proses ini. Sekali individu mengalami trauma, di kemudian hari ia menjadi lebih rentan mengalami trauma lagi.

Komponen keempat, perasaan kaget atau terperangkap. Menghindar dari situasi yang mengancam atau melawan sumber ancaman butuh gerak aktif. Upaya ini meliputi lari, mendorong, melompat, memukul, berenang, bersembunyi, memanjat, dan tindakan lainnya. Saat individu merasa tidak bisa bergerak, karena dikuasai rasa takut intens, situasi ini berpotensi besar menimbulkan trauma.

Persepsi terperangkap tidak perlu berlangsung dalam waktu lama, dan juga tidak perlu sampai disadari penuh. Perasaan terperangkap ini bisa dialami saat seseorang mengalami kecelakaan, saat jatuh, saat melintasi jembatan yang bergoyang, saat dituduh mencuri di depan umum, atau saat Anda diberitahu menderita kanker, baik itu benar atau salah diagnosis. Saat Anda mengalami kejadian dan tidak ada tempat untuk berlari atau bersembunyi, maka saat itulah perasaan diri kaget atau terperangkap terjadi dan dialami.

Komponen kelima, perasaan tidak berdaya. Saat individu merasa terperangkap namun masih bisa memikirkan jalan keluar atau ada yang memberi jalan keluar, maka ia masih memiliki harapan. Potensi mengalami trauma menurun drastis. Saat individu merasa sama sekali tidak ada jalan keluar dari situasi yang ia alami, muncul perasaan tidak berdaya. Bila kelima komponen ini lengkap hadir, maka kejadian yang dialami individu direkam di otak sebagai kejadian traumatis.

Selain 5 komponen di atas, kejadian yang tampak sepele juga dapat menjadi trauma karena ia meneruskan dan bekerja berdasarkan akumulasi pengalaman sebelumnya (Chemtob, Nomura, dan Abramovitz, 2008; Gunawan, 2014). Kerentanan terhadap trauma semakin meningkat bila individu terlalu berempati, berharga diri rendah, dan mengalami kesulitan dalam regulasi respons emosi.  Jadi, kejadian tunggal dengan emosi intens dapat menjadi trauma. Ada pula kejadian dengan emosi yang kurang intens, namun karena ia memiliki kesamaan atau kemiripan dengan kejadian yang sebelumnya pernah dialami individu, mengakibatkan muncul trauma.

Semua ini dapat terjadi karena sistem mekanisme pertahanan tubuh manusia dengan landasan neurologisnya yang membawa kita pada sistem kerja otak sebagai berikut :

- Ganglia Basal (Otak Reptil) – Bertanggung jawab atas sensasi dan impuls tubuh. Wilayah inilah yang dengan cepat membawa kita ke mode melawan/melarikan diri/membeku jika merasakan atau menafsirkan bahaya.

- Sistem Limbik (Otak Mamalia) – Bertanggung jawab atas emosi, perasaan, dan memori implisit, yang sangat menginformasikan dan memengaruhi keputusan.

- Neokorteks (Otak Manusia) – Bertanggung jawab atas pikiran, ekspresi verbal, dan rasionalitas. Segala sesuatu di bawah wilayah otak ini sebagian besar bersifat naluriah dan reaktif. Ini adalah bagian otak kita yang memungkinkan rasionalitas dan responsivitas.

Idealnya, ketiga wilayah ini terintegrasi dan bekerja sama dengan baik.

Namun, ketika seseorang mengalami trauma, otaknya menjadi tidak terintegrasi dan daerah otak reptil dan mamalia bekerja secara berlebihan, menjadi sangat sensitif terhadap bahaya dan ketakutan, dan otak manusianya (neokorteks) sering kali tidak diproses oleh individu tersebut. Ini adalah salah satu bentuk sistem keselamatan hidup.

Dua Sistem Keselamatan Hidup

Manusia memiliki dua sistem keselamatan hidup: aversive dan appetitive survival system. Emosi reaktif dan reflektif adalah bagian dari aversive survival system. Sistem ini mengaktifkan emosi takut dan marah saat individu berhadapan atau mengalami kejadian yang mengancam, di mana ia harus bisa lari lebih cepat atau lebih kuat sehingga bisa mengalahkan predator. Takut juga aktif untuk menghindarkan kita dari melakukan sesuatu yang menghasilkan rasa bersalah, malu, marah, dan emosi mengganggu lainnya.

Appetitive survival system memelihara keselamatan hidup dengan cara mendorong atau memotivasi kita untuk memenuhi kebutuhan fisik, mencari makan, minum, dan seks. Sistem ini memotivasi kita dengan menghasilkan perasaan lapar, haus, dan hasrat pemenuhan kebutuhan seks yang bertindak sebagai stresor. Semakin lama kebutuhan ini tidak terpenuhi, semakin besar stres yang dialami individu, semakin tinggi motivasinya.

Kedua sistem ini saling terhubung untuk mencapai tujuan serupa, keselamatan dan kelanjutan hidup. Dengan demikian, tidak heran bila dalam gangguan yang melibatkan dorongan apetitif abnormal seperti adiksi atau makan kompulsif, sering ditemukan keberadaan emosi reaktif atau reflektif abnormal yang berasal trauma.


Memori untuk Keselamatan Hidup

Selain lari (flight) dan lawan (fight), untuk menjaga keselamatan hidup di masa depan, kita sangat perlu mampu menghindari situasi serupa yang di masa lalu bersifat membahayakan atau mengancam. Dengan demikian, kita butuh kemampuan untuk merekam dan mengingat kembali, dengan cepat dan akurat, memori-memori tentang situasi ancaman ini.

Ada dua cara untuk mencapai tujuan ini. Pertama, kita perlu mengalami secara langsung, dan kedua, otak kita merekam informasi dari sumber lain. Proses ini melibatkan amigdala dan hipokampus.

Salah satu cara paling cepat untuk menarik perhatian, membuat kita fokus, waspada untuk menghindari situasi yang mengancam adalah dengan melibatkan emosi. Di sinilah peran nyata amigdala dan hipokampus.

Amigdala akan bertanya pada hipokampus, menggunakan data yang telah terekam di memori otak, apakah situasi, kondisi, hal, benda, atau apa saja yang individu temui, aman atau berbahaya. Saat hipokampus memberi jawaban bahwa ini adalah sesuatu yang dipersepsi mengancam atau berbahaya maka amigdala akan menyalakan alarm tanda bahaya, muncul emosi intens dalam diri individu yang menyiapkan dirinya lari atau lawan.

Pengalaman traumatis meninggalkan bekas mendalam dalam psikis individu, terekam dalam bentuk memori “khusus” di otak, dan mengakibatkan perilaku tak lazim, sakit berkepanjangan, sensasi fisik yang bersifat mengganggu kenyamanan hidup.

Pengalaman terekam sebagai pengalaman traumatis saat momen lari atau lawan, saat upaya menghindari atau menghilangkan ancaman tidak dapat dilakukan. Pada saat inilah senyawa kimiawi otak seperti norepinephrine, dopamine, dan kortisol meningkat drastis dan memengaruhi otak dalam merekam informasi.

Secara umum, selama dan setelah trauma, pikiran dan tubuh seseorang menjadi sangat terfokus pada kelangsungan hidup dan keselamatan. Hal ini sendiri tidaklah buruk, tetapi memiliki beberapa efek samping yang melemahkan.Saat hormon stres yang seharusnya berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh untuk fungsi keselamatan hidup terpicu secara berlebihan dalam waktu lama, maka memori ini akan memberi pesan anomali yang merugikan.  Ia akan memutuskan hubungan pikiran dari perasaan dalam tubuh mereka sehingga mengakibatkan kita kehilangan kemampuan untuk terhubung dengan diri sendiri (yaitu, ketidakmampuan untuk melakukan introspeksi dan menyadari diri sendiri). Ketika kita mengalami kesulitan untuk terhubung dengan diri sendiri, kita juga:Kesulitan mencintai tubuh, pikiran, dan jiwa sendiri.Keterbatasan kemampuan kita untuk menyadari orang lain, terlibat dalam pengambilan perspektif, dan secara keseluruhan, terhubung dengan orang lain; kesulitan berpikir tentang, merencanakan (yaitu, menetapkan tujuan), dan bekerja menuju tujuan dan masa depan yang lebih cerah.

Singkat kata, ketidaklancaran pengaliran emosi dalam diri saat menghadapi sebuah kejadian akan menyebabkan Trauma yang melemahkan kemampuan kita untuk menjadi utuh (terhubung tubuh, pikiran, perasaan, dan jiwa). Ketidakterhubungan (disintegrasi diri) inilah yang menyebabkan sebuah kekosongan dalam diri yang selalu diisi dengan adiksi. Inilah mengapa dikatakan bahwa trauma adalah salah satu penyebab adiksi yang sesungguhnya.

Emosi sesungguhnya adalah alat yang diberikan kepada Tuhan kepada diri kita untuk menghadapi berbagai kondisi kehidupan yang mungkin kita hadapi. Disadari atau tidak. Ortony, Norman, dan Revelle (2005) menyatakan emosi dihasilkan pada tiga level: reaktif, rutin, dan reflektif. Emosi paling primitif adalah yang bersifat reaktif. Emosi ini telah ada dalam diri kita sejak lahir, dan berfungsi untuk memastikan kita bisa tetap selamat.

Berbicara tentang emosi, kita perlu memahami bahwa kata “emosi”  itu sendiri berasal dari bahasa Latin “emovere”, yang berarti bergerak melewati atau keluar. Dengan demikian, emosi sejatinya merujuk pada tindakan aktif. Dalam bahasa aslinya, emosi sama sekali tidak mengandung makna kelekatan atau penolakan terhadap tindakan, namun emosi secara alami mengalir melalui atau keluar dari diri.

Saat emosi dapat mengalir keluar secara alamiah atau mampu dialirkan keluar dari sistem diri dengan sengaja, maka tidak akan terjadi masalah. Masalah muncul saat emosi menumpuk dalam diri, biasanya melalui proses represi kronis, dan mewujud dalam bentuk gejala pada aspek kognisi, emosi, dan fisik.



Jenis - Jenis Trauma

Trauma dapat bersifat fisik atau emosional. Trauma fisik adalah cedera tubuh yang serius. Trauma emosional adalah respons emosional terhadap peristiwa atau situasi yang mengganggu. Lebih khusus lagi, trauma emosional dapat bersifat akut atau kronis, sebagai berikut: Trauma emosional akut adalah respons emosional yang terjadi selama dan segera setelah satu peristiwa yang menyedihkan. Trauma emosional kronis adalah respons emosional jangka panjang yang dialami seseorang akibat peristiwa menyedihkan yang berkepanjangan atau berulang yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Selain itu, trauma emosional kompleks adalah respons emosional yang terkait dengan berbagai peristiwa menyedihkan yang mungkin saling terkait atau tidak.

Trauma emosional dapat berasal dari berbagai jenis peristiwa atau situasi selama masa bayi dan kanak-kanak, serta saat dewasa. Peristiwa yang menyebabkan trauma tidak harus dialami secara langsung. Peristiwa yang Anda saksikan, yang terjadi di komunitas Anda, atau terjadi pada orang yang Anda kenal juga dapat menyebabkan trauma.

Jenis-jenis Peristiwa Traumatis

Peristiwa traumatis meliputi (tetapi tidak terbatas pada):

  • Penganiayaan anak
  • Penelantaran anak
  • Perundungan
  • Penganiayaan fisik
  • Kekerasan dalam rumah tangga
  • Kekerasan di masyarakat
  • Bencana alam
  • Trauma medis
  • Penganiayaan seksual
  • Perdagangan seks
  • Penyalahgunaan zat terlarang
  • Kekerasan pasangan intim
  • Penganiayaan verbal
  • Rasisme
  • Kecelakaan
  • Perang
  • Trauma pengungsi
  • Terorisme
  • Kesedihan traumatis
  • Trauma antargenerasi

Apa Gejala Trauma?

Gejala trauma dapat bersifat emosional dan fisik. Respons emosional dapat menyebabkan perasaan intens yang memengaruhi sikap, perilaku, fungsi, dan pandangan seseorang terhadap dunia. Seseorang juga dapat mengalami gangguan stres pasca trauma (PTSD) atau gangguan penyesuaian setelah peristiwa traumatis. Ini adalah gangguan yang ditandai dengan keyakinan bahwa hidup dan keselamatan terancam dengan perasaan takut, teror, atau ketidakberdayaan.

Gejala Psikologis Trauma Emosional

Respons emosional terhadap trauma dapat berupa salah satu atau kombinasi dari berikut ini:

  • Takut
  • Ketidakberdayaan
  • Disosiasi
  • Perubahan dalam perhatian, konsentrasi, dan pengambilan memori
  • Perubahan dalam perilaku, sikap, pandangan dunia
  • Kesulitan berfungsi
  • Penyangkalan, atau menolak untuk percaya bahwa trauma itu terjadi
  • Kemarahan
  • Tawar-menawar, yang mirip dengan negosiasi
  • Penghindaran
  • Depresi, kecemasan
  • Perubahan suasana hati
  • Rasa bersalah atau malu
  • Menyalahkan (termasuk menyalahkan diri sendiri)
  • Penarikan diri sosial, kehilangan minat dalam aktivitas 
  • Mati rasa emosional (numb)

Gejala Fisik Trauma Emosional

Trauma emosional juga dapat bermanifestasi dalam bentuk gejala fisik. Gejalanya meliputi:

  • Peningkatan denyut jantung
  • Nyeri atau nyeri tubuh
  • Otot tegang
  • Merasa gelisah
  • Mudah gelisah atau terkejut
  • Mimpi buruk
  • Sulit tidur
  • Kelelahan
  • Disfungsi seksual, seperti disfungsi ereksi, kesulitan terangsang, atau kesulitan mencapai orgasme
  • Perubahan nafsu makan
  • Kewaspadaan berlebihan

Dukacita adalah perasaan sedih yang berhubungan dengan kehilangan, yang paling sering adalah kematian orang yang dicintai. Namun, kehilangan tidak selalu berarti kematian. Trauma dan dukacita dapat dialami setelah peristiwa yang menyedihkan, terutama jika peristiwa tersebut melibatkan kematian teman dekat atau anggota keluarga.

Seseorang yang mengalami trauma dapat mengalami lima tahap dukacita yang dijelaskan oleh psikiater Elisabeth Kübler-Ross. Menurut American Psychological Association. Tahapan -tahapan dukacita sebagai berikut :

  • Penyangkalan
  • Kemarahan
  • Depresi
  • Negosiasi
  • Penerimaan

Meskipun tahapan-tahapan tersebut sering dijelaskan dalam urutan ini, penting untuk menyadari bahwa seseorang dapat berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya dalam urutan apa pun, dan mereka dapat mengulang atau melewati tahap-tahap tersebut.

Kunci Penyembuhan Trauma

Walaupun psikiater, psikolog, atau terapis dapat memberikan bantuan bagi penyintas trauma melalui berbagai metode seperti : Psikoterapi, NLP, Hipnoterapi, TRE, EFT, ET, EAT, Meditasi Mindfulness, Eurythmy- Tridaya (Threefold Walking), Yoga, BMM, EMDR, dan banyak lagi metode lainnya, penting untuk dipahami bahwa segala metode dan cara hanyalah tools (alat) yang dapat berfungsi efektif bila kunci penyembuhan trauma telah dicolokkan dan dibuka bagi terjadinya penyembuhan itu sendiri.

Dikatakan sebagai kunci karena ia adalah inti akar masalah yang harus diselesaikan. Seperti yang sudah kita bahas di atas, trauma itu sendiri bukan sekedar masalah kejadian tragis atau penyebab luka. Bahkan luka itu sendiri juga bukan penyebab trauma. Tetapi, emosi yang mengikuti luka yang tidak dapat berdaur dengan lancar sehingga terperangkap, tertahan, terabaikan, atau terkubur sangat dalam sehingga menimbulkan luka yang terlihat sudah lama tetapi ia menyisakan parut yang tampak keras namun rapuh tersentuh dan menyakitkan sampai ke dalam bila tak sengaja tersentuh. Ia adalah luka yang terabaikan yang tidak diperlakukan dengan baik. Oleh sebab itu bila ingin menyembuhkan sebuah trauma, kuncinya ada pada diri sendiri yang mau secara sadar merefleksi diri untuk berani menoleh ke dalam diri (tidak lagi melarikan diri mencari kenyamanan di luar diri untuk menambal kekosongan yang diakibatkan luka tersebut), menemukan luka dan emosi terkungkung yang masih menyertainya untuk kemudian diterima, divalidasi, dan diperlakukan dengan baik. Beranikan diri dengan penuh kasih dan kesadaran merasakan dan menyentuh setiap sisi keterlukaan diri yang pernah ada, akui dan terima ia sebagai goresan-goresan yang melukis kehidupan kita agar semakin indah dan artistik. Validasi setiap emosi yang terasa dan melangkahlah bersamanya agar emosi yang terperangkap, terkungkung di antara lapisan-lapisan luka tadi membumbung bersama langkah kita yang harmonis, terdorong oleh kepedulian kita untuk memperlakukannya dengan baik dan hormat. Katakan padanya, "Ya! Aku merasa .........(emosi/perasaan yang sesungguhnya)....., Benar, Aku merasa........................... dan aku menerimanya.  Walaupun aku merasa................................  namun Aku menerima dan mencintai diriku sepenuhnya. Aku dan semua luka dan perasaan adalah bagian dari diriku yang seutuhnya, karena itu aku akan berjalan dengan aman, harmonis dan damai bersamanya. Aku aman melalui proses ini. Aku mengakui dan menerima bahwa ia pernah ada. Aku akan melalui proses ini secara alami hingga ia melembut, mencair, menguap, dan membumbung bersama waktu dan angin. 

Jadi INTI DARI KUNCI PENYEMBUHAN TRAUMA itu sendiri adalah cara kita MEMPERLAKUKAN LUKA kita dengan baik dan layak sehingga ia merasa diakui, diterima, dan melalui proses daur ulang yang mengalir secara alami. 

Oleh sebab itu kesadaran awal untuk mau merasakan dan mengakuinya adalah langkah awal, sebab you can't heal what you can't feel.  Semua jenis tools dan strategi yang disediakan juga akan menjadi upaya yang sia-sia tanpa kesadaran dan niat untuk mau menghadapi dan memulai perlakuan yang baik terhadap parut luka yang tersembunyi dalam trauma. 

Ingatlah bahwa emosi yang diakui dan diperlakukan dengan baik (tidak ditahan/diabaikan) akan menjadi emosi rutin yang muncul, bertahan sebentar, lalu memudar, dan dilanjutkan dengan munculnya emosi lain. Emosi seperti ini tidak menyebabkan trauma. Mereka memberi warna kepada kehidupan yang kita jalani.

Demikianlah dengan memahami akar penyebab dari trauma, semoga kita lebih mampu mencegah dan menangani luka yang berpotensi menjadi trauma dalam hidup kita sendiri. Tulisan ini disajikan sebagai bentuk wawasan preventif dan holistik yang menawarkan solusi ini yang berfokus pada kesadaran diri sehingga dalam menghadapi trauma, kita tidak lagi merasa sebagai korban yang terus menuding dan menyalahkan pelaku / penyebab di luar diri, tetapi lebih menilik ke dalam diri untuk menumbuhkan kesadaran akan tanggungjawab diri dalam memperlakukan diri dan luka/emosi kita dengan baik sehingga kita memilih untuk memulai pengobatan dan penyembuhan dari diri sendiri. Kita memulai dari memaafkan diri sendiri dan orang lain. Kita memulai dari kesadaran merasakan, mengakui, menerima dan berjalan bersama luka kita sehingga mereka mendapatkan perlakuan yang diinginkan dan akhirnya secara katarsis terjadi penyembuhan secara alami. Begitulah cara kita melepaskan yang pada akhirnya berdamai dengan trauma.

Selain itu, tentunya penting juga untuk menjaga rutinitas, makan teratur, berolahraga, mendapatkan tidur berkualitas yang cukup, rileksasi, dan memiliki manajemen stres yang baik dalam keseharian.

Berikut adalah video singkat Gabor Mate, The Secret to Healing Trauma tentang trauma dan inti penyembuhannya yang dapat kita simak bersama.





Akhir kata,  kamu terlalu berharga untuk terluka, seperti lagu ini ...


Semua akan baik-baik saja. Semoga bermanfaat !

p/s. :

Recovery = Re-Discovery  , yang artinya proses menemukan kembali diri kita yang sejati ke dalam diri sehingga dapat menghubungkan kembali kekosongan / ketidakterhubungan diri.


I'm Sorry

Please Forgive Me

Thank You

I Love You❤️







Komentar