Kisah Sebuah Rasa

Di dunia ini pernah ada sebuah kisah. Kisah yang tak jelas apa nama judul terbaiknya. Kisah tentang sebuah rasa yang biasa. Tapi ia menjadi luar biasa karena dalam kehidupan dengan semua orang yang datang, pergi dan berlalu. Ia selalu tetap ada dan selalu sama, bertahan dalam ketulusannya. Rasa yang diam tak berisik dan baru disadari keberadaannya setelah setengah lebih masa perjalanan kehidupan, setelah lama berpisah dan memiliki kehidupannya masing-masing. Setelah bertemu dengan begitu banyak orang dan masalah, ternyata baru disadari ada seseorang yang hampir tak pernah pergi meninggalkanmu. Begitu lamanya ia tetap bersemayam diam dalam hati yang terdalam dan jarang mengusikmu. Namun, ia terus membawa sebuah rasa yang tak pernah berubah. Senyuman yang sama, suara yang sama, kelembutan yang sama, tatapan mata yang sama hanya untuk orang yang sama. Ia begitu indah bagaikan kembang api, namun menari sekejap tak lagi kembali. Lalu ia menjelma menjadi gunung yang teguh dan lautan dengan kelapangannya. Ia juga menjelma menjadi matahari yang menghangatkan dan memberikan kehidupan dari jauh.

Dalam kondisi kehidupan yang terus berubah, di sepanjang jalan kehidupan yang menurun dan mendaki tiada henti, di antara jarak dan ruang waktu yang memisahkan, di antara gemerlap malam dengan lampu neon dan kerumunan manusia yang riuh, di sana tetap ada sebuah rasa yang tak terlupa.Walau rasa yang ada hampir serasa menghilang tak pernah menjelma dalam cerita roman bak Romeo dan Juliet atau Lancelot dan Guinevere yang legendaris, tetapi berbalut kesahajaan yang hampir tak pernah ditampilkan, ternyata rasa itu terus berkultivasi di antara banyak cerita dan peristiwa yang menghampiri. Ia terkadang beriak ekspresif mendorong kesadaran emosional akan sebuah rasa yang begitu dikenal lama namun anehnya tak pernah mengikuti dunia untuk berubah. Hanya ada satu rasa yang paling mendamaikan dalam ketulusannya. Hanya ada satu tatapan mata yang mampu menghanyutkannya. Hanya ada satu jenis suara yang begitu menggetarkannya. Hanya ada satu senyuman yang mampu membawakan kehangatan. Ada rasa yang ada kalanya saling menarik kuat namun kemudian mundur untuk memberi jalan, Ada energi dan cerita yang tak pernah habis di antaranya. Dan semua itu dari satu sumber yang sama. Ada rasa saling melengkapi dalam ruang damai yang tak perlu banyak bicara. Ada rasa yang bisa saling merasakan kesakitan dan kebahagiaan masing-masing secara walaupun tidak berada di tempat yang sama. Walau kadang bergejolak dan tak bisa akur, saling menolak dan mengasingkan diri, namun pada saatnya ada gelombang energi kuat yang entah bagaimana caranya akan menariknya kembali dan ia tak pernah benar-benar meninggalkanmu. Benar! Ia tidak ada di sisimu. Namun, Ia ada di dalam hatimu, dalam mimpi dan pikiranmu. Walau seberapa jauh kamu berlari, mimpimu tak akan bisa mendustai dunia untuk mengingkari kehadirannya. Ia ada dalam tiada. Tiada dalam ada. Ia adalah satu rasa yang bertahan di tengah segala evolusi dan revolusi yang tak pernah dan setelah terlambat disadari tak lagi layak untuk diungkap. Satu rasa yang begitu dekat bagaikan pelukan hangat, satu rasa yang ketika hadir dalam kenangan akan mencengkram kuat hati ini tetapi mengguliri mata dengan air mata sekaligus mengembangkan senyum yang sama di sudut bibirmu. Satu rasa yang selalu berusaha terdiam dan mencari tempat untuk bersembunyi, namun tak pernah benar-benar ingin menjauh pergi. Satu rasa yang akan siap datang kepadamu ketika salah satu dari mereka saling membutuhkan dukungan dan kembali menepi bagi ruang nafas kehidupan yang telah terjalin. Satu rasa yang terbalut dalam gairah romansa yang tidak binal. Satu rasa yang berkarisma dalam wibawa karena tetap dapat menjaga kehormatan dan tidak menyakiti yang lainnya. Satu rasa yang kosong hampa namun ada tanpa pamrih. Satu rasa yang juga diikuti rasa takut kehilangan satu dari yang lain. Satu rasa yang penuh kebahagiaan sejak awal mulanya. Satu rasa yang pasrah menyerahkan diri pada semesta tanpa janji. Ada sebuah pendampingan yang dirasakan. Ada seseorang yang tidak berada di sisi diri, tetapi bersemayam dalam hati. Berjumpa atau tidak, senantiasa diliputi kerinduan tanpa penyesalan. Satu rasa yang begitu kaya akan segala rasa, yang tak terungkap dan teramalkan.  

Walau semua kenangan telah dimusnahkan, walau bumi raga telah dirusakkan. Akankah satu rasa yang itu masih akan memilih dan menemukanku? Tidak akan pernah ada yang tahu. Jika di dunia yang terus berubah ini masih tersisa satu rasa yang tetap bertahan diantara kamuflase dan perubahan kehidupan, apakah itu yang dinamakan"Abadi"? Akankah kisah seseorang yang teguh membangun istana cinta dan menunggu bersama lautnya untuk menyambutmu akan menjadi kenyataan atau hanya harus sekedar puas menjelma menjadi sebuah legenda dalam khayalan saja? Tidak pernah akan ada yang tahu. Hingga waktu yang akan menjawabnya. 

Kisah ini adalah kisah tentang sebuah rasa yang tidak jelas apa nama judulnya. Sebuah kisah yang belum selesai dan berharap tidak memiliki episode akhir dalam ceritanya. Sebuah kisah yang hanya dapat diceritakan kepada semesta yang tak ingin mengucap kata berpisah. Sebab ia percaya pada pengaturan alam yang terbaik dimana semua yang memang ditakdirkan untukmu akan menemukan caranya untuk kembali kepadamu.

Dalam kepasrahan kisah ini, memunculkan pemahaman diri bahwa sebuah rasa pada tahapannya yang tertinggi adalah "merestui". Orang yang salah akan ada caranya untuk pergi darimu. Orang yang benar untukmu akan selalu punya jalan untuk kembali kepadamu. Tidak dapat diingkari dalam diri. Yang dicintai tetaplah akan menjadi yang dicintai dalam diri, Hanya saja tidak akan terlalu memaksakan diri lagi. Yang ditakuti tetaplah masih menjadi yang ditakuti, hanya saja sudah mulai belajar untuk berani menghadapi. Hidup ini begitu singkat. Demi sebuah rasa yang tak punya nama, hiduplah dengan senyuman terbaik. Bebaskan dan lepaskan diri dari gundah kelana. Tidak menyalahkan masa lalu, Tidak merisaukan masa depan. Hanya menyerahkannya kepada waktu. Terima kasih untuk sebuah kisah rasa yang pernah ada. Aku mencintaimu. Maafkan aku.



Komentar